Seri
Parenting
Menjadi Teman dan Teladan Bagi Anak
Oleh : Nurussalam
Pembaca
bulletin Ar Rahmah yang di Rahmati Allah, coba kita simak dialog yang ditulis
oleh Dr. Abdurrahim Al Basyir, M.Pd (Direktur Pendidikan EMIISc Jakarta) berikut;
Seorang siswa
di sebuah SMA sambil berkelakar kepada temannya berkata, “Saya sangat senang
sekolah di sini, karena cewek-ceweknya cantik, apalagi yang satu kelas
denganku. Uhuii….“
Pembaca yang budiman! Apa yang terbayang oleh kita ketika mendengar ucapan itu? Apakah kita merasa “nyaman” atau “risih” mendengarnya? Sungguh ini adalah ucapan yang memberi isyarat nyata bahwa dengan sering terjadinya pertemuan antara siswi dan siswa dalam sebuah kelas atau sekolah, hal itu akan menimbulkan perasaan “mengkhayalkan” satu sama lain.
Lain lagi dengan anak kelas 3 SD yang saya dengar sendiri dialog di antara mereka. Salah seorang di antaranya bertanya kepada temannya dengan lugu, “Kamu sudah punya pacar berapa?” Temannya menjawab, “Aku punya pacar 3.” Sang anak yang bertanya langsung menyambut dengan jawaban yang membuat saya terheran-heran. Dia berkata, “Aku punya pacar 4, tapi sudah putus 3, sekarang tinggal 1, yaitu si “fulanah” (nama temannya disebut).“
Apa pula pendapat kita dengan dialog kedua anak tersebut? Mungkin akan banyak ragam komentar seperti, “Ah itu wajar, namanya juga anak-anak. Paling-paling dia hanya mengikuti ucapan orang yang didengarnya atau hasil dari tontonan yang ada di sinetron atau yang semisalnya.”
“Masya Alloh..! Anak-anak sekarang edan!“
“Astaghfirulloh! Anak-anak sekarang masih ingusan sudah pintar pacaran!“
Apapun komentar kita tentang fenomena ini tidak akan pernah mengubah kenyataan yang terus akan terjadi.
Pembaca yang budiman! Apa yang terbayang oleh kita ketika mendengar ucapan itu? Apakah kita merasa “nyaman” atau “risih” mendengarnya? Sungguh ini adalah ucapan yang memberi isyarat nyata bahwa dengan sering terjadinya pertemuan antara siswi dan siswa dalam sebuah kelas atau sekolah, hal itu akan menimbulkan perasaan “mengkhayalkan” satu sama lain.
Lain lagi dengan anak kelas 3 SD yang saya dengar sendiri dialog di antara mereka. Salah seorang di antaranya bertanya kepada temannya dengan lugu, “Kamu sudah punya pacar berapa?” Temannya menjawab, “Aku punya pacar 3.” Sang anak yang bertanya langsung menyambut dengan jawaban yang membuat saya terheran-heran. Dia berkata, “Aku punya pacar 4, tapi sudah putus 3, sekarang tinggal 1, yaitu si “fulanah” (nama temannya disebut).“
Apa pula pendapat kita dengan dialog kedua anak tersebut? Mungkin akan banyak ragam komentar seperti, “Ah itu wajar, namanya juga anak-anak. Paling-paling dia hanya mengikuti ucapan orang yang didengarnya atau hasil dari tontonan yang ada di sinetron atau yang semisalnya.”
“Masya Alloh..! Anak-anak sekarang edan!“
“Astaghfirulloh! Anak-anak sekarang masih ingusan sudah pintar pacaran!“
Apapun komentar kita tentang fenomena ini tidak akan pernah mengubah kenyataan yang terus akan terjadi.
Pandangan orang tua
Pembaca yang budiman, sebagian
orangtua beranggapan sekolah yang paling bertanggungjawab dalam mendidik
anak-anak mereka. Tugas orangtua hanya membayar biaya sekolah dan memenuhi
kebutuhan hidup untuk anak saja. Bahkan ada yang menjadikan sekolah seperti
tempat penitipan anak karena orangtuanya sibuk bekerja semua.
Ada juga yang menganggap anak
remaja mereka sudah besar jadi tidak perlu bimbingan lagi. Akhirnya anak remaja
itu lebih banyak belajar dari teman dan lingkungan pergaulannya. Dari sinilah
seorang remaja mengenal berbagai bentuk kenakalan yang bisa berujung kepada tindakan
kriminal.
Orang tua sebagai Teman dan
Teladan
Ada beberapa tips yang bisa
coba kita lakukan sebagai orang tua untuk mengurangi dampak negative lingkungan
terhadap perilaku dan pergaulan anak-anak kita, pertama, cobalah untuk menjadi
teman bagi mereka. Mulai dari teman FB, teman twitter, teman untuk mendengarkan
cerita-cerita tentang teman-temannya. Hal ini untuk menghindari anak-anak
curhat ke tempat yang salah.
Yang perlu orang tua
perhatikan saat anak-anak kita curhat, adalah mendengarkan dengan sungguh-sungguh
dan jangan ‘meledek’ atau mencemo’oh mereka, berikan tanggapan seperlunya,
tidak perlu berlebihan, tetap bersikap wajar apabila dalam cerita tersebut
kadang akan membuat kita kaget, karena kemungkinan cerita mereka merupakan
perbuatan yang salah menurut agama. Tetaplah bersikap tenang, untuk kemudian
meluruskan dengan bahasa yang santun dan berwibawa. Karena kita memposisikan
sebagai teman curhat sekaligus orang tua yang harus meluruskan bila ada yang
kurang tepat.
Kedua, berusahalah menjadi
teladan bagi anak-anak kita. Di setiap kondisi anak-anak selalu memperhatikan
setiap perkataan, tindakan dan sikap kita. Untuk itu kita betul-betul berusaha
menjadi yang terbaik dimata anak-anak kita, jaga sikap, perkataan dan perbuatan
kita, karena anak-anak akan mudah meniru sikap yang kita perlihatkan dihadapan
mereka.
Ketika kita menjadi teman di
facebook misalnya, berilah komentar yang santun, tapi juga mengarahkan setiap
komentar dari teman FB yang lain yang akan merusak cara berpikir kita.
Demikianlah salah satu upaya kita
untuk melaksanakan perintah Allah berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ
مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. (QS. At Tahrim 66:6).